Sebagai generasi muda, saya sungguh miris mendengar dugaan korupsi proyek pengadaan Alquran yang dilakukan pejabat di Kementerian Agama. Bagaimana tidak, Alquran sebagai kitab suci umat Islam yang seharusnya disucikan dan dihormati malah diselewengkan dengan memanfaatkan keuntungan dari proyek tersebut. Sungguh sangat ironis, namun itulah kenyataan pahit yang harus diterima bangsa kita menyaksikan derasnya gelombang tindak pidana korupsi yang semakin merajelala ke berbagai aspek kehidupan.
Dugaan korupsi proyek pengadaan Alquran memang belum bisa dibuktikan di lapangan, namun kuat dugaan indikasi itu pasti akan terungkap. Buktinya, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Abraham Samad, telah mengagendakan pemeriksaan saksi dalam penyelidikan dugaan korupsi proyek pengadaan Alquran di Kementerian Agama. Abraham menyebut lembaganya telah mempunyai bukti kuat adanya dugaan korupsi dalam proyek pengadaan Alquran yang direalisasikan pada 2011 saat Dirjen Bimas Islam, Kemenag, dijabat Nasaruddin Umar—yang kini diangkat menjadi wakil menteri. (Kompas, 24/6/2012).
Mencuatnya kasus dugaan korupsi proyek pengadaan Alquran sangat disayangkan oleh publik negeri ini. Publik bukan hanya terkejut menyaksikan korupsi yang begitu masif, bahkan telah menyerang zona-zona yang semula diyakini tabu, melainkan juga ikut prihatin terhadap institusi yang berlabel agama menjadi sarang korupsi. Kendati isu korupsi di Kementerian Agama sudah bukan hal yang baru lagi, namun korupsi terkait dengan Alquran, oleh publik dianggap sebagai kemunafikan dan kemungkaran yang tidak bisa diterima.
Semua kalangan sangat prihatin dengan masifnya tindak pidana korupsi yang melibatkan pejabat di Kementerian Agama. Salah seorang tokoh yang begitu prihatin dengan permasalahan kasus ini adalah Ketua PP Muhammadiyah, Din Syamsudin. Sebagai tokoh agama, Din sangat terkejut dengan mencuatnya kasus ini, karena lembaga yang diduga melakukan tindakan korupsi adalah institusi Kementerian Agama. Din mengatakan bahwa kasus ini bukan hanya memalukan, melainkan juga telah mencederai institusi agama yang mengatur pembinaan umat beragama.
Dengan mencermati beberapa kasus yang melibatkan pejabat di Kementerian Agama, maka sangat pantas kalau Indonesian Corruption Watch (ICW) beberapa waktu lalu, kembali menempatkan Kementerian Agama sebagai institusi paling korup di negeri ini. Tentu hal ini sangat bertolak belakang dengan peran dan fungsi Kementerian Agama yang menjadi tameng moralitas dan pembinaan umat beragama di seluruh Indonesia.
Sebenarnya, publik tidak begitu heran dengan mencuatnya beberapa kasus korupsi yang melanda beberapa lembaga pemerintahan di negeri ini. Namun, bila lembaga agama yang tersangkut kasus dan diduga kuat sebagai sarang korupsi, maka publik justru sangat terheran-heran dan merasa tidak percaya dengan beredarnya dugaan kasus korupsi tersebut.
Tidak heran bila publik tetap tidak bisa menerima apabila korupsi itu dilakukan aparat di bidang keagamaan. Apalagi yang dikorupsi adalah proyek pengadaan Alquran. Sungguh sangat ironis, karena kita telah bermain-bermain dengan firman Tuhan dengan mengambil keuntungan dari proyek ini. Jika pada akhirnya kasus ini terbukti, maka akan patahlah asumsi publik yang terbangun selama ini bahwa Kementerian Agama adalah sebagai sarang korupsi.
Padahal, publik mempunyai ekspektasi sangat tinggi bahwa orang-orang yang menjabat di bidang agama, berlatar belakang pendidikan agama, mempunyai moral yang jauh lebih baik, akan mampu menjadi obor pencerahan dari segala persoalan bangsa ini. Ekspektasi itu pun turun drastis manakala pejabat yang membidani agama menjadi mafia anggaran dari proyek pengadaan al-Qur’an. Maka bila mereka yang diharapkan bermoral lebih baik juga korupsi, maka publik pun sudah putus harapan (hopeless) dengan ekspektasi itu.
Sungguh sangat memperihatinkan, bangsa Indonesia mempunyai masyarakat yang religius tetapi banyak yang melakukan korupsi. Korupsi adalah penyakit yang ditimbulkan oleh pemisahan ajaran agama dari perilaku keseharian manusia. Memang, korupsi bisa saja dilakukan semua orang baik yang beragama maupun yang tidak beragama, tetapi ajaran-ajaran agama dengan jelas mengajarkan moralitas yang baik, dengan jelas pula meng-haram-kan praktek-praktek korupsi.
Belajar dari perjalanan agama-agama di Indonesia, diharapkan ada landasan moral, spritual, dan etik yang mampu membangun kesadaran para koruptor agar tidak melakukan tindakan amoral. Dalam kajiannya tentang kehidupan agama di negeri ini, Eka Darmaputra, menyebutkan faktor dominan yang mempengaruhi semakin berakarnya tindakan korupsi. Salah satunya adalah “kedangkalan penghayatan agama”, yang ditandai dengan kecenderungan agama mengekspresikan diri sebagai mitos, sebagai logos, dan sebagai ritus, bukan sebagai etos.
Lalu bagaimana mengoptimalisasikan peran agama sehingga berperan positif terhadap upaya pemberantasan korupsi? Bagi saya, yang perlu kita lakukan adalah agar agama-agama keluar dari kebekuan dogmatisme dan kekeringan ritualismenya adalah dengan mulai menaruh perhatian pada tantangan-tantangan etis, dan menempatkan kepentingan sosial sebagai titik utamanya sehingga membawa kemaslahatan bagi semua ummat manusia.
Dalam konteks inilah, Octariano (2006) menjelaskan dalam “Menggugat Toleransi Moral dan Budaya Permesif: Topeng Relativisme moral Praktis”, bahwa kita harus memiliki kesadaran moral yang kokoh, yang dapat dimanifestasikan melalui cinta diri. Yang dimaksud tentulah bukan egoisme dan individualisme, melainkan cinta akan kemanusiaannya. Cinta semacam ini akan mendorong diri kita mencintai orang lain.
Realitas ini, mengindikasikan, bahwa moral bangsa (baca: pejabat), kian hari kian mengalami degradasi dan dekadensi. Korupsi yang yang dulu tabu, kini terang-terangan dilakukan. Yang dulu dipraktekkan kalangan minoritas, kini dilakukan mayoritas umum. Yang dulu menjadi rahasia private, kini menjadi rahasia umum (public). Ini berarti, (tak terbantahkan lagi) kehidupan berbangsa dan bernegara kian bobrok.
Dugaan korupsi proyek pengadaan Alquran memang belum bisa dibuktikan di lapangan, namun kuat dugaan indikasi itu pasti akan terungkap. Buktinya, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Abraham Samad, telah mengagendakan pemeriksaan saksi dalam penyelidikan dugaan korupsi proyek pengadaan Alquran di Kementerian Agama. Abraham menyebut lembaganya telah mempunyai bukti kuat adanya dugaan korupsi dalam proyek pengadaan Alquran yang direalisasikan pada 2011 saat Dirjen Bimas Islam, Kemenag, dijabat Nasaruddin Umar—yang kini diangkat menjadi wakil menteri. (Kompas, 24/6/2012).
Mencuatnya kasus dugaan korupsi proyek pengadaan Alquran sangat disayangkan oleh publik negeri ini. Publik bukan hanya terkejut menyaksikan korupsi yang begitu masif, bahkan telah menyerang zona-zona yang semula diyakini tabu, melainkan juga ikut prihatin terhadap institusi yang berlabel agama menjadi sarang korupsi. Kendati isu korupsi di Kementerian Agama sudah bukan hal yang baru lagi, namun korupsi terkait dengan Alquran, oleh publik dianggap sebagai kemunafikan dan kemungkaran yang tidak bisa diterima.
Semua kalangan sangat prihatin dengan masifnya tindak pidana korupsi yang melibatkan pejabat di Kementerian Agama. Salah seorang tokoh yang begitu prihatin dengan permasalahan kasus ini adalah Ketua PP Muhammadiyah, Din Syamsudin. Sebagai tokoh agama, Din sangat terkejut dengan mencuatnya kasus ini, karena lembaga yang diduga melakukan tindakan korupsi adalah institusi Kementerian Agama. Din mengatakan bahwa kasus ini bukan hanya memalukan, melainkan juga telah mencederai institusi agama yang mengatur pembinaan umat beragama.
Dengan mencermati beberapa kasus yang melibatkan pejabat di Kementerian Agama, maka sangat pantas kalau Indonesian Corruption Watch (ICW) beberapa waktu lalu, kembali menempatkan Kementerian Agama sebagai institusi paling korup di negeri ini. Tentu hal ini sangat bertolak belakang dengan peran dan fungsi Kementerian Agama yang menjadi tameng moralitas dan pembinaan umat beragama di seluruh Indonesia.
Sebenarnya, publik tidak begitu heran dengan mencuatnya beberapa kasus korupsi yang melanda beberapa lembaga pemerintahan di negeri ini. Namun, bila lembaga agama yang tersangkut kasus dan diduga kuat sebagai sarang korupsi, maka publik justru sangat terheran-heran dan merasa tidak percaya dengan beredarnya dugaan kasus korupsi tersebut.
Tidak heran bila publik tetap tidak bisa menerima apabila korupsi itu dilakukan aparat di bidang keagamaan. Apalagi yang dikorupsi adalah proyek pengadaan Alquran. Sungguh sangat ironis, karena kita telah bermain-bermain dengan firman Tuhan dengan mengambil keuntungan dari proyek ini. Jika pada akhirnya kasus ini terbukti, maka akan patahlah asumsi publik yang terbangun selama ini bahwa Kementerian Agama adalah sebagai sarang korupsi.
Padahal, publik mempunyai ekspektasi sangat tinggi bahwa orang-orang yang menjabat di bidang agama, berlatar belakang pendidikan agama, mempunyai moral yang jauh lebih baik, akan mampu menjadi obor pencerahan dari segala persoalan bangsa ini. Ekspektasi itu pun turun drastis manakala pejabat yang membidani agama menjadi mafia anggaran dari proyek pengadaan al-Qur’an. Maka bila mereka yang diharapkan bermoral lebih baik juga korupsi, maka publik pun sudah putus harapan (hopeless) dengan ekspektasi itu.
Sungguh sangat memperihatinkan, bangsa Indonesia mempunyai masyarakat yang religius tetapi banyak yang melakukan korupsi. Korupsi adalah penyakit yang ditimbulkan oleh pemisahan ajaran agama dari perilaku keseharian manusia. Memang, korupsi bisa saja dilakukan semua orang baik yang beragama maupun yang tidak beragama, tetapi ajaran-ajaran agama dengan jelas mengajarkan moralitas yang baik, dengan jelas pula meng-haram-kan praktek-praktek korupsi.
Belajar dari perjalanan agama-agama di Indonesia, diharapkan ada landasan moral, spritual, dan etik yang mampu membangun kesadaran para koruptor agar tidak melakukan tindakan amoral. Dalam kajiannya tentang kehidupan agama di negeri ini, Eka Darmaputra, menyebutkan faktor dominan yang mempengaruhi semakin berakarnya tindakan korupsi. Salah satunya adalah “kedangkalan penghayatan agama”, yang ditandai dengan kecenderungan agama mengekspresikan diri sebagai mitos, sebagai logos, dan sebagai ritus, bukan sebagai etos.
Lalu bagaimana mengoptimalisasikan peran agama sehingga berperan positif terhadap upaya pemberantasan korupsi? Bagi saya, yang perlu kita lakukan adalah agar agama-agama keluar dari kebekuan dogmatisme dan kekeringan ritualismenya adalah dengan mulai menaruh perhatian pada tantangan-tantangan etis, dan menempatkan kepentingan sosial sebagai titik utamanya sehingga membawa kemaslahatan bagi semua ummat manusia.
Dalam konteks inilah, Octariano (2006) menjelaskan dalam “Menggugat Toleransi Moral dan Budaya Permesif: Topeng Relativisme moral Praktis”, bahwa kita harus memiliki kesadaran moral yang kokoh, yang dapat dimanifestasikan melalui cinta diri. Yang dimaksud tentulah bukan egoisme dan individualisme, melainkan cinta akan kemanusiaannya. Cinta semacam ini akan mendorong diri kita mencintai orang lain.
Realitas ini, mengindikasikan, bahwa moral bangsa (baca: pejabat), kian hari kian mengalami degradasi dan dekadensi. Korupsi yang yang dulu tabu, kini terang-terangan dilakukan. Yang dulu dipraktekkan kalangan minoritas, kini dilakukan mayoritas umum. Yang dulu menjadi rahasia private, kini menjadi rahasia umum (public). Ini berarti, (tak terbantahkan lagi) kehidupan berbangsa dan bernegara kian bobrok.


05.58
Rahmanudin Sevenfold




0 komentar:
Posting Komentar